RSS Feed

Sabtu, 16 April 2011

Mooi Indie

Mooi Indie
Dalam kelanjutan perjalanan sejarah seni lukis baru Indonesia, setelah wafatnya Reden Saleh sebagai orang pribumi yang menjadi perintis seni lukis indonesia muncul beberapa pelukis yang terpengaruh oleh gaya melukis Raden Salah. Akan tetapi terdapat perbedaan objek dalam karya-karya pelukis yang muncul setelah Raden saleh yaitu Mooi Indie. Objek dari lukisan Raden Saleh adalah peristiwa yang pernah terjadi sedangkan pada karya pelukis yang munncul setelah Randen Saleh objeknya berupa keadaan di sekeliling dari sudut pandang yang molek, cantik, permai dalam memuja alam di Indonesia.
Era munculnya pelukis-pelukis baru setelah wafatnya Raden Salah dimulai dari tahun 1908 hingga 1937. Pada era ini pelukisnya didominasi oleh orang-orang dari golongan ningrat atau bangsawan yang yang lingkukangan pergaulannya berada di sekitar para petinggi pemerintah Hindia-Belanda. Para pelukis itu antara lain : Abdullah Soeriosoebroto, Raden Mas Pringadi, dan wakidi.
Abdullah Soeriosoebroto merupakan pelukis yang memilih Bandung sebagai temapat tinggal dan objek dalam lukisanya. Alam raya yang indah mengelilingi Bandung yang membuat Abdullah memilih Bandung, selain itu karena Bandung memiliki peranan dalam seni lukis setelah kota Jakarta.
wakidi tinggal dan berkarya di Sumatra Barat. Gunung-gunung di sekitar lembah Ngarai menjadi objek lukisan wakidi. Berkat ketrampilan dan kesabaran Wakidi dalam mencampur warna, menjadikan lukisan-lukisan wakidi memiliki nuansa yang lembut.
Raden Mas Pringadi merupakan seorang pelukis potret untuk ilustrasi penerangan antropologi. Kebiasaan pengalaman kerjanya membuat Mas Pringadi menggunakan objek alam yang berkesan tentram, tenang, dan damai. Akan tetapi, Mas Pringadi kurang mendalami karakter alam atau karakter alam sebagai objek hayati.
Lukisan-lukisan para pelukis pada era ini menarik perhatian para turis yang datang ke Indonesia yang pada waktu itu masih menjadi negara jajahan Belanda yang memiliki nama Hindia Belanda. Lukisan-lukisan tersebut oleh para turis dijadikan oleh-oleh.
Akan tetapi, muncul perlawanan dari pelukis muda yang bernama Soedjojono terhadap tema yang digunakan oleh para pelukis pada era ini. Soedjojono memberi sebutaan pada tema keindahan Indonesia dengan sebutan “Mooi Indie” yang memiliki arti Hindia molek. Menurut sekertaris PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar) itu, tema yang dibawakan oleh pelukis-pelukis tersebut tidak mencerminka keadaan indonesia yang sebenarnya, terlalu melebih-lebihkan. Menurut Soedjojono seni lukis adalah ekspresi pribadi yang mencerminkan semangat manusia yang sedang memperjuangkan ke-Indonesiaannya agar berdiri sejajar dengan negara lain, tidak mengada-ada. Para ahli sejarah seni lukis menyebut era ini dengan sebutan Mooi indie.
Soedjojono yang penah menjadi murid Mas Pringadi Mooi Indie ini memiliki pemikiran yang kritis, baik dalam hal seni lukis maupun kemasyarakatan atau kebangsaan. Soedjojo dan teman-temanya melahirkan seni lukis modern Indonesia yang memiliki visi yang jelas, semangat pembaharuan, kompetisi, dan idialisme .

pemakaman mesir kuno dan pemakaman suku -suku di indonesia

Prosesi Pemakaman
Mumi adalah sebutan mayat yang diawetkan dengan menggunakan ramuan tertentu agar bertahan abadi. Mesir merupakan daerah yang terkenal dengan mumi fir’aunnya. Sejarah tentang mesir kuno menceritakan tentang kemajuan zaman pada masa itu, pembangunan piramida oleh raja fir’aun yang berfungsi sebagai tempat persemayamannya.
Beberapa suku di indonesia memiliki persamaan dalam adat pemakaman bangsa mesri kuno. Di antaranya adalah suku Bahau di Kalimantan timur memiliki kesamaan pada konsep penguburanya, mayat dikubur dengan barang berharga, suku Toraja memiliki kesamaan dalam proses mumifikasi dan menguburkan baranga-barang berharga, demikian pula di Sumba yang juga menggunakan proses mumifikasi .
Prosesi pemakaman Mesir kuno
Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang diyakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Berbagai kegiatan dalam adat ini adalah proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, upacara pemakaman, dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan oleh almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan mengawetkan tubuh mayat melalui proses pengeringan. Kegersangan dan kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yaitu dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan meletakkan mayat ke dalam sarkofagus berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik.
Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi. Teknik terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang lebih 70 hari lamanya, selama waktu tersebut secara bertahap dilakukan proses pengeluaran organ internal, pengeluaran otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut natron. Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada setiap lapisan kain tersebut disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian diletakkan pada peti mati yang disebut antropoid. Mumi periode akhir diletakkan pada laci besar cartonnage yang telah dicat.
Orang kaya Mesir dikuburkan dengan jumlah barang mewah yang lebih banyak. Tradisi penguburan barang mewah dan barang-barang sebagai bekal almarhum juga berlaku pada semua masyarakat tanpa memandang status sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku kematian ikut disertakan dikuburan, bersamaan dengan patung shabti yang dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat. Setelah pemakaman, kerabat yang masih hidup diharapkan untuk sesekali membawa makanan ke makam dan mengucapkan doa atas nama almarhum.
Prosesi pemakaman suku Bahu di Kalimantan Timur
Bahau merupakan salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kutai Pripinsi Kalimantan Timur. Orang Bahau konon merupakan pecahan dari orang Dayak Tunjung, yang lama kelamaan seolah-olah merupakan kelompok yang berbeda, karena mengembangkan budaya sendiri. Kelompok masyarakat ini berdiam di kecamatan Long Iram, bagian dari wilayah Kabupten Kutai, Propinsi Kalimantan Timur
Dalam proses pemakaman suku Bahu memiliki kesamaan dengan prosesi pemakaman pada zaman mesir kuno, yaitu mayat dikuburkan dengan barang-barang kebutuhannya. bagi kaum pri bangsawan mungkin akan disertakan baranf-barang seperti Mandau, guci, sumpitan, tombak, perisai, parang, beliung, babi, ayam, dan lain-lain, apabila yang meninggal itu wanita barang yang dibawa disesuaikan dengan kebutuhan wanita.
Prosesi pemakaman suku Toraja
Suku Toraja adalah masyarakat yang mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Torajara Utara di Sulawesi Selatan. Dalam adat pemakaman suku toraja memiliki persamaan dalam prosesi pemakan raja-raja Fir’aun.
Di Toraja, kematian kerap diupacarakan secara besar-besaran. Menurut keyakinan masyarakat setempat, ini dimaksudkan agar arwah manusia yang meninggal mendapat tempat yang layak di sisi Puang Matua, yang menurut kepercayaan "Alukta", adalah dewa tertinggi yang menguasai kehidupan.

Oleh karena itu biaya yang digunakan sangat banyak. Bila belum mampu untuk menguburkanya maka mayat disemanyamkan terlebih dahulu. Selama disemayamkan, jenazah biasanya diawetkan dengan menggunakan cuka atau formalin. Dan uniknya, jenazah ini disemayamkan dalam satu atap bersama dengan keluarga lain yang masih hidup.

Hidup bersama jenazah orang yang dicintai adalah suatu hal yang lazim di Toraja. Jenazah yang telah meninggal dunia diurus dan diperlakukan seperti layaknya masih hidup. Bagi mereka tidak ada masalah hidup bertahun-tahun dengan orang yang sudah meninggal.

Dalam keyakinan masyarakat Toraja, jenazah anggota keluarga yang disemayamkan, belum dimakamkan dan belum pula diupacarakan, masih dianggap sebagai manusia hidup, bukan sebagai mahluk yang telah meninggal dunia. Tubuh yang tersemayamkan di rumah, dianggap dalam posisi Tomakula', atau sakit keras.

Dengan keyakinan ini, cukup beralasan bagi masyarakat Toraja untuk memperlakukan jenazah anggota keluarganya, seperti layaknya saat masih hidup. Perlakuan istimewa terhadap orang yang sudah meninggal di Toraja, tidak terlepas dari pandangan theologis Alukta, yang masih dipegang teguh sebagian masyarakat di daerah ini. Keyakinan ini menghilangkan rasa takut, yang biasanya muncul saat harus berhubungan dengan jenazah.
Suasana duka, tidak kentara terlihat di rumah-rumah yang masih menyemayamkan jenazah anggota keluarganya. Tinggal seatap dengan jenazah keluarga yang disemayamkan di dalam rumah, akan terus berlangsung hingga biaya pelaksanaan pemakaman yang besarnya ratusan juta rupiah terkumpul, dan segala persiapan sudah dilakukan.
Bila biaya pelaksanaan pemakaman jenazah telah terpenuhi, maka seluruh anggota keluarga bersiap untuk menyelenggarakannya. Pada pelaksanaannya, seluruh kerabat, baik kerabat dekat maupun kerabat yang terhitung jauh akan berusaha untuk datang mengikuti ritual yang kental dengan nuansa kesakralan ini. Umumnya, para kerabat ini tidak hanya sekedar datang, mereka juga menyisihkan uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga yang menyelenggarakan pemakaman ini.
Pada pelaksanaan upacara kematian di Toraja, kesan berbau mistis amat terasakan. Kuatnya pengaruh ritus keagamaan dan adat istiadat, jelas terlihat pada upacara ini. Pengaruh animistik masih menjadi bagian dari hukum tak tertulis yang ditaati sebagian masyarakat di daerah ini.
Puncak ritual pemakaman masyarakat Toraja adalah pelaksanaan prosesi pengusungan jenazah ke liang batu. Dan bila sejak disemayamkan di rumah, tidak kentara rasa duka, barulah di saat-saat seperti ini, kesedihan keluarga yang ditinggal salah seorang anggota keluarganya, terasakan. Tidak sedikit yang akhirnya meneteskan air mata, melepas kepergian anggota keluarganya.
Dalam keyakinan masyarakat Toraja, manusia hidup di atas bumi ini adalah hidup di alam pertama, sementara sesudah meninggal dunia, akan berada di alam kedua, yang disebut Puya, yang tidak lain adalah surga.
Puya adalah impian segenap masyarakat Toraja. Mengantarkan dan menyempurnakan perjalanan seorang manusia Toraja menuju Puya, adalah kewajiban masyarakat Toraja lainnya yang masih hidup. Sehingga meski harus satu atap dengan jasad mendiang sebelum dimakamkan, dan harus mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah untuk pelaksanaan pemakaman, masyarakat Toraja melakukan hal itu dengan segenap kesadaran.
Prosesi pemakaman suku Sumba
Kaum bangsawan Sumba mempunyai tradisi untuk menyimpan mayat bertahun-tahun di rumah adat. Agar mayat tetap awet membutuhkan pangawet. Dewasa ini kebanyakan orang menggunakan zat pengawet kimia atau formalin. Bagi orang Sumba, formalin hanya merupakan tambahan dan baru dikenal dalam satu dasawarsa terakhir. Apa rahasia menyimpan mayat bertahun-tahun agar tidak bau.
sebelum mengenal formalin, orang Sumba biasa menggunakan metode pengawetan tradisional. Pengawetan tradisonal itu bermacam-macam. Ada yang menggunakan kapur sirih dicampur tembakau atau daun teh. Tetapi, yang sering digunakan adalah kapur sirih dan tembakau. Untuk lebih bertahan lama, mayat ditambah daun bidara atau dalam bahasa setempat disebut daun kom. Ada juga yang hanya menyelimuti mayat dengan ratusan lembar kain adat. Menurut beberapa tokoh adat Sumba, kain adat Sumba yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-tumbuhan sudah mengandung pengawet alami. Jadi, bau mayat akan terserap oleh kain yang dibungkuskan pada jenazah.
Untuk pengawetan metode pertama, dilakukan dengan cara menyiram kapur sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas mayat atau pembungkus mayat. Setelah kain pertama yang ditabur kapur sirih dan tembakau, dilapisi lagi kain kedua. Kapur sirih dan tembakau ini yang akan menyerap bau, bahkan membuat jenazah kering. Setelah dibaringkan di atas lapisan yang ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi dengan cairan daun kom atau bidara yang sudah dikunyah.

Tidak sembarang orang bisa mengunyah daun kom yang akan ditaruh di pusar jenazah. Jika yang meninggal adalah lelaki tua, maka daun kom harus diambil dan dikunyah oleh perempuan muda. Cara mengambil daun kom juga menggunakan mulut seperti kambing. Daun kom itu dikunyah sampai halus dan diletakan di pusar jenazah. Demikian juga sebaliknya jika yang meninggal perempuan tua, maka yang mengambil dan mengunyah daun kom atau bidara adalah lelaki muda, dan sebaliknya apa bila yang meninggal lelaki muda, maka yang mengunyah daun kom atau bidara adalah perempuan tua, apabila yang meninggal permpuan muda yang menguyah daun kom atau daun bidara lelaki tua. Secaral ogika memang tidak ada hubungannya. Namun, pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.
Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan mayat. Jika ingin awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air garam dan cuka nira. Caranya, rebus cuka nira, campur dengan garam sebanyak-banyaknya setelah itu diminumkan ke mayat dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian menuangkan air cuka campur garam ke dalam mulut mayat, kepala jenazah dibaringkan lagi. Ini dilakukan berulang-ulang hingga satu gelas air cuka campur garam habis. Namun sebelum air garam cuka diminumkan ke jenazah, jenazah harus dalam keadaan bersih. Yang dimaksud bersih adalah bersih dari seluruh kotoran yang ada dalam perut jenazah.

Dalam prosesi pemakaman, bebrapa suku yang ada di Indonesia memiliki kemiripan dengan bangsa Meir kuno yang terkenal akan kemegahan piramida. Kesamaan tersebut baik berupa proses mumifikasi maupun proses penyimpanan mayat atau penguburan mayat yang disertai dengan barang-barang yang berguna. Dalam proses penguburan hampir memiliki tujuan yang sama, yaitu barang tersebut memiliki fungsi yang akan digunakan pada kehidupan setelah mati.